Konspirata.com –
Di tengah sorotan publik terhadap kasus-kasus korupsi pejabat, muncul kabar yang membuat jurnalis dan aktivis antikorupsi kian waspada. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) kini menjadi perbincangan serius karena dinilai bisa “membungkam” kerja-kerja pers.
Bayangkan: ketika seorang jurnalis menemukan bukti dugaan penyalahgunaan dana publik, namun bukti itu bersinggungan dengan “data pribadi” pejabat terkait. Jika berita itu dipublikasikan, bukan pejabat yang diduga korupsi yang bisa langsung terseret hukum—melainkan si jurnalis yang justru terancam jerat pidana.
Publik Bertanya: Siapa yang Sebenarnya Dilindungi?
Kritik bermunculan: apakah UU PDP benar-benar dibuat untuk melindungi warga, atau justru menjadi “tameng” baru bagi para pejabat agar tak tersentuh pemberitaan?
Publik khawatir, pasal-pasal ini bisa ditafsirkan semena-mena dan menjerat siapa pun yang mengungkap kebobrokan birokrasi.
Seorang akademisi hukum di Samarinda menyebut fenomena ini sebagai “efek balik hukum” — dimana regulasi yang seharusnya melindungi rakyat justru bisa digunakan untuk melawan rakyat.
Dilema Demokrasi di Era Digital
Di era digital, kebebasan pers dan keterbukaan informasi adalah pilar demokrasi. Namun jika pasal-pasal karet ini dipakai untuk menjerat media, maka ruang demokrasi akan semakin sempit.
Padahal, publik justru haus informasi mengenai bagaimana uang negara dikelola.
Pertanyaan tajam pun muncul:
- Apakah jurnalis harus berhenti mengungkap fakta demi menghindari jerat pidana?
- Apakah demokrasi kita sedang diarahkan menuju “sunyi” informasi, di mana hanya suara pemerintah yang terdengar?
Jika UU PDP dijadikan tameng, maka bukan hanya jurnalis yang terancam, tetapi juga masyarakat luas yang kehilangan haknya untuk tahu.
Korupsi bisa tumbuh subur di balik sunyi. Dan ketika pers tak lagi bebas bersuara, publik akan terjebak dalam kegelapan informasi.
Leave a Reply