NGOPI Pendidikan Kaltim: Janji “GratisPol” Mengemuka, Tapi Peta Jalan Belum Jelas

BEM FISIP UNMUL

Samarinda, 30 Juni 2025 — konspirata.com. Diskusi publik bertajuk NGOPI (Ngobrol Santai Perkara Isu) yang digelar di Amphiteater Teras Samarinda, Senin (30/6), menjadi forum penting untuk membedah arah baru pembangunan pendidikan di Kalimantan Timur (Kaltim). Namun di tengah beragam optimisme, pertanyaan besar mengemuka dari peserta dan pengamat: bagaimana kelanjutan program pendidikan gratis “GratisPol” yang dijanjikan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Rudy Mas’ud dan Seno Aji?

Acara yang terbuka untuk umum ini diselenggarakan oleh Kementerian Kajian Aksi Strategis BEM FISIP UNMUL bersama Aliansi Diskusi dan Pokja 30, menghadirkan sejumlah tokoh kunci dari unsur pemerintahan, legislatif, akademisi hingga masyarakat sipil.

Rusmadi Wongso: Program Masih dalam Tahap Finalisasi

Ketua Tim Transisi Gubernur Kalimantan Timur, Dr. H. Rusmadi Wongso, menyebut bahwa program “GratisPol” (Pendidikan Gratis untuk Semua) kini masih dalam tahap konsolidasi. Ia menekankan bahwa komitmen pemerintahan baru tetap fokus pada pemerataan akses pendidikan, namun mengakui belum ada peta jalan rinci yang bisa diumumkan ke publik.

“Kami sedang siapkan dokumen kebijakan dan skema pembiayaan yang realistis. Program ini akan bertahap, tidak bisa instan,” ujar Rusmadi.

Sarkowi Zahry: “Program GratisPol Harus Dijalankan Secara Sistematis, Jangan Setengah Hati”

Anggota Komisi V DPRD Kaltim, Dr. Sarkowi Zahry, MH., M.M., M.Si., M.ILing, yang dikenal sebagai pendukung aktif pasangan Rudy–Seno, menegaskan bahwa program pendidikan gratis GratisPol adalah langkah strategis dan populis yang harus dijalankan dengan serius dan sistematis.

“GratisPol adalah janji perubahan, dan kami di DPRD siap mengawal. Tapi pelaksanaannya tidak boleh setengah hati. Harus ada peta jalan, aturan turunan, dan skema anggaran yang konkret,” ujarnya.

Sarkowi menegaskan bahwa dirinya tidak meragukan komitmen Gubernur-Wakil Gubernur, namun mendorong agar komunikasi publik ditingkatkan dan transparansi dokumen kebijakan segera dilakukan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat.

“Rakyat butuh kejelasan. Tim transisi harus segera mengedukasi publik—apa yang dimaksud gratis, siapa sasarannya, dan bagaimana implementasinya. Jangan sampai semangat besar ini dikerdilkan oleh miskomunikasi,” tegasnya.

Ia menyebut bahwa DPRD akan mendukung penuh penganggaran jika program ini disusun dengan data dan skema pembiayaan yang kuat.

“Kami bukan hanya pengawas, kami adalah mitra perubahan. Tapi mitra itu juga butuh dokumen kerja yang serius, bukan sekadar slogan,” tutup Sarkowi.

POKJA 30 Siap Bangun Posko Pemantauan Kebijakan

Sorotan tajam datang dari perwakilan POKJA 30, Buyung Marajo, yang menyatakan bahwa masyarakat sipil siap mengawal janji pendidikan gratis hingga ke level implementasi. Ia mengumumkan bahwa POKJA 30 akan segera membentuk posko pemantauan kebijakan pendidikan GratisPol di Kalimantan Timur.

“Kami tidak akan diam menunggu janji ditepati. POKJA 30 siap membangun posko untuk memantau, mendokumentasi, dan menyuarakan setiap pelanggaran atau penyimpangan kebijakan pendidikan di daerah,” tegas Buyung di hadapan peserta.

Ia juga menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu sejauh mana realisasi kebijakan dan siapa yang harus bertanggung jawab jika program tersebut gagal dijalankan.

Akademisi dan Budayawan: Jangan Hanya Urus Biaya

Dr. Sri Murlianti, S.Sos., M.Si, sosiolog dari Universitas Mulawarman, mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya soal uang. Ia menekankan pentingnya reformasi kurikulum, metode pengajaran, serta distribusi guru dan fasilitas ke daerah terpencil.

Sementara itu, budayawan Roedy Harjo Widjono menyoroti pentingnya muatan lokal. Ia khawatir bahwa pendidikan hanya meniru sistem Jawa dan mengabaikan karakteristik budaya Kalimantan.

Disdik dan Kesra Menunggu Petunjuk Resmi

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Arminius, Pd., W.Pd, mengaku siap menjalankan program jika sudah ada instruksi dan payung hukum dari Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mahasiswa FISIP: Kami Tak Akan Diam

Acara yang dimoderatori oleh Arief Fadillah dari Mahasiswa FISIP UNMUL ini juga menjadi ruang bagi mahasiswa menyuarakan tuntutan politik pendidikan yang lebih jujur, inklusif, dan berkelanjutan.

Dalam diskusi terbuka bertajuk “GratisPol: Janji Manis atau Realisasi Setengah Hati?” yang digelar oleh BEM FISIP di salah satu ruang publik Samarinda, hadir para mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum. Mereka menyuarakan kekecewaan atas belum jelasnya teknis pelaksanaan program yang digadang-gadang akan menjadi solusi pendidikan di Kaltim.

Namun, yang paling disayangkan dalam diskusi ini adalah fakta bahwa ruang publik tempat digelarnya diskusi—yang seharusnya dapat diakses secara gratis oleh publik—ternyata justru dikenai biaya yang cukup mahal.

“Kami harus membayar Rp1,7 juta hanya untuk menyewa ruang publik. Ini ironis. Di tengah janji pendidikan gratis, kami malah harus membayar mahal untuk berdiskusi soal pendidikan,” ujar salah satu panitia penyelenggara.

Isu ini memperkuat narasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya siap dalam menjalankan program GratisPol. Terlebih lagi, tidak sedikit peserta diskusi yang menganggap program ini hanya sekadar etalase politik tanpa kesiapan anggaran dan sistem pelaksanaan yang jelas.

“Jika pemerintah tidak siap, maka mahasiswa dan rakyat akan menjadi oposisi yang kritis. Pendidikan bukan alat kampanye, tapi hak rakyat,” tegas salah satu peserta diskusi dari kalangan aktivis mahasiswa FISIP.

Forum NGOPI menjadi ajang konsolidasi gagasan, kritik, dan harapan masyarakat terhadap masa depan pendidikan di Kaltim. Di tengah euforia janji “GratisPol”, publik tak lagi hanya menunggu—mereka kini siap mengawal langsung dari lapangan.

Dengan terbentuknya posko pemantauan dan sinergi kritis dari kampus serta masyarakat sipil, Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur kini menghadapi tugas besar: menepati janji, atau kehilangan kepercayaan.

Leave a Reply