Warga Samarinda Kaget: Puluhan Tahun Tinggal, Ternyata Hidup di Atas Lahan HPL Transmigrasi

SAMARINDA — Konspirata.com, Ratusan warga di kawasan Jalan Ringroad 2, Kota Samarinda dibuat terkejut dan cemas setelah mengetahui bahwa lahan tempat mereka bermukim selama puluhan tahun ternyata masuk dalam kawasan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) transmigrasi yang diterbitkan sejak 1981—tanpa pernah ada pemberitahuan resmi dari pemerintah.

Fakta mengejutkan ini baru terungkap saat warga mengurus dokumen legal seperti Izin Membuka Tanah Negara (IMTN) dan sertifikat hak milik, namun pengajuan mereka ditolak. Penolakan ini menjadi titik balik bagi warga yang selama ini hidup dalam keyakinan bahwa lahan mereka sah dan aman.

“Saya lahir dan besar di sini. Orang tua saya membangun rumah ini sejak tahun 90-an. Tidak pernah sekalipun ada informasi dari pemerintah bahwa tanah ini bagian dari program transmigrasi,” ungkap warga setempat yang kini hidup dalam ketidakpastian hukum.

Pelanggaran Hak dan Keadilan Ruang

Para aktivis dan pegiat hukum pertanahan menilai ini sebagai bentuk kelalaian negara dan penelantaran administratif. Mereka menyebut kejadian ini melanggar prinsip keadilan ruang, transparansi data, dan hak masyarakat atas tempat tinggal yang layak.

“Selama 43 tahun lahan ini tidak pernah digunakan untuk transmigrasi, tapi tiba-tiba statusnya muncul untuk menghalangi hak legal warga. Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk pengabaian sistematis,” kata Damar Wibowo, pegiat hukum agraria.

Salah satu pemilik lahan yang terdampak langsung adalah Alpian, yang telah lama menetap dan membangun di area tersebut. Ia kini kehilangan kepastian hukum atas tanah dan bangunannya.

Ketiadaan Sosialisasi: Negara Absen 4 Dekade

Tidak ada papan informasi, sosialisasi warga, atau surat resmi yang disampaikan sejak HPL diterbitkan. Pemerintah baru “menyadari” keberadaan HPL tersebut pada tahun 2024, ketika masalah ini meledak di tengah pengajuan IMTN warga.

“Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal rasa aman dan hak hidup yang layak. Bagaimana bisa kami tiba-tiba disebut ilegal di atas tanah yang negara sendiri diamkan selama lebih dari 40 tahun?” keluh Pak Rahman, tokoh RT yang kini membantu warga mengajukan banding.

Desakan untuk Evaluasi dan Pemulihan Hak

Warga bersama aktivis kini mendesak Pemerintah Kota Samarinda, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Desa & Transmigrasi untuk meninjau ulang status HPL tersebut, mengingat tidak pernah ada kegiatan transmigrasi di lokasi itu sejak 1981 hingga kini.

Warga juga meminta pembatalan HPL, penyelesaian hukum yang adil, dan pengakuan atas hak-hak mereka yang selama ini dirampas secara diam-diam oleh sistem yang tak transparan.(ar)

Leave a Reply