Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, DPR Dinilai Lamban Merespons

Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah resmi berlaku. Keputusan penting ini mengakhiri sistem pemilu serentak yang selama ini dikenal dengan skema lima kotak. Namun, hingga akhir Juni 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menunjukkan tanda-tanda percepatan pembahasan regulasi turunan yang terdampak.

Putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat 3 Undang-Undang Pemilu tidak sesuai dengan UUD 1945. Putusan ini sekaligus membatalkan konsep pemilu serentak nasional dan daerah yang diterapkan sejak 2019. Dengan demikian, pelaksanaan Pemilu 2029 akan berlangsung dalam waktu berbeda untuk tingkat nasional dan daerah.

Hakim konstitusi Saldi Isra menekankan bahwa jadwal pemilu yang berdekatan menyulitkan publik dalam menilai kinerja pejabat eksekutif maupun legislatif. Ia juga menyebut bahwa stabilitas partai politik terganggu karena kurangnya waktu untuk menyiapkan kader. Hal ini diperkuat oleh pandangan hakim Arief Hidayat yang menyatakan pemilu lima kotak mendorong partai ke arah pragmatisme politik dan transaksi pencalonan yang tidak sehat.

Meski bersifat final dan mengikat, putusan MK tersebut belum direspons cepat oleh DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, mengungkapkan bahwa belum ada jadwal pasti untuk membahas revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, Partai Politik, dan Pemerintahan Daerah yang terdampak langsung. Ia menyebut revisi UU Pemilu baru dijadwalkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2026.

Politisi PKS Mulyanto menilai keputusan MK ini justru membawa angin segar. Menurutnya, pemisahan pemilu memberikan waktu persiapan lebih baik bagi partai dan pemilih, serta mengurangi kejenuhan masyarakat yang selama ini harus menghadapi pemilu serentak dalam satu tahun penuh. Ia juga menyoroti manfaatnya bagi penyelenggara pemilu yang selama ini terbebani dengan logistik dan teknis yang kompleks.

Di sisi lain, Sekjen Partai Golkar Sarmuji menyatakan partainya masih mengkaji dampak putusan MK, termasuk konsekuensi terhadap masa jabatan anggota DPRD. Ia belum memastikan apakah akan ada perpanjangan masa jabatan atau pengisian lewat mekanisme pergantian antarwaktu. Ahmad Doli Kurnia, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, turut mendukung pemisahan pemilu, namun menyoroti peran MK yang menurutnya terlalu dominan dalam legislasi.

Pengamat pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menekankan urgensi pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu. Ia menyebut keterlambatan ini berisiko menimbulkan kebingungan hukum dan administrasi, terutama dalam masa transisi menjelang Pemilu 2029. Ia juga mendorong DPR dan pemerintah segera merumuskan dasar hukum teknis untuk menghindari kekosongan jabatan kepala daerah.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Netgrit, Hadar Nafis Gumay, menyambut baik putusan MK sebagai langkah menuju pemilu yang lebih berkualitas. Menurutnya, pemilih kini akan memiliki ruang lebih untuk mengenali kandidat dan isu lokal tanpa terdistraksi isu nasional. Namun ia menyesalkan lambannya respons DPR, yang sejauh ini masih berdalih melakukan pengkajian.

Putusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah membawa implikasi besar terhadap peta politik, sistem kepartaian, regulasi, dan logistik pemilu di Indonesia. Perubahan ini perlu segera direspons oleh DPR dan pemerintah agar transisi berjalan mulus dan Pemilu 2029 dapat terselenggara secara konstitusional, efisien, dan demokratis.(Rdk/Ar).

Leave a Reply