SAMARINDA, Konspirata.com — Skandal Terminal Ship to Ship (STS) Muara Berau dan Muara Jawa yang melibatkan PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PT PTB) bukan sekadar kisah klasik korupsi. Di balik angka fantastis kerugian negara Rp5,04 triliun, tersembunyi dugaan permainan sistematis antara swasta, oknum pejabat pusat, dan lemahnya pengawasan daerah.
Redaksi Konspirata.com mendalami temuan-temuan terbaru dari dokumen internal dan kesaksian beberapa narasumber kunci. Hasilnya mencengangkan: praktik ilegal ini bisa jadi telah berlangsung lebih dari 5 tahun — nyaris tanpa sentuhan hukum.
Membongkar “Pelabuhan Bayangan”
Di atas kertas, lokasi STS yang dikelola PT PTB seharusnya belum masuk dalam kawasan pelabuhan resmi sesuai Permenhub No. PM 48 Tahun 2021. Namun, dalam praktiknya, perusahaan ini bebas melakukan aktivitas bongkar muat batubara dengan nilai transaksi mencapai ratusan juta dolar AS per tahun.
Lebih janggal lagi, PT PTB mengantongi surat dari Kementerian Perhubungan tertanggal 24 Juli 2023 — yang menetapkan tarif jasa kepelabuhanan — meski tidak ada dasar hukum penetapan wilayah pelabuhan. Surat tersebut kini sudah dibatalkan oleh PTUN Jakarta.
Lalu, siapa yang meloloskan izin itu? Siapa yang mendapat untung di balik aktivitas “pelabuhan bayangan” ini?
Jejak Nama Besar dan Izin “Ajaib”
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Konspirata.com, PT PTB kerap mencatut nama mantan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) Moeldoko, dalam berbagai surat maupun pertemuan dengan mitra bisnis. Hal ini seolah digunakan untuk meyakinkan bahwa bisnis mereka “dilindungi dari atas”.
Moeldoko sendiri belum memberikan pernyataan resmi, namun keterkaitan nama besar ini menimbulkan pertanyaan publik:
Apakah ada bekingan politik di balik konsesi ilegal ini?
Rp5 Triliun = Ribuan Sekolah, Ratusan Puskesmas
Dalam diskusi publik yang digelar oleh aktivis muda di Samarinda, muncul fakta mencengangkan:
Kerugian negara Rp5,04 triliun setara dengan:
- 1.000 sekolah baru
- 300 rumah sakit kecil
- 5.000 unit kapal nelayan
- atau 10 tahun anggaran pendidikan daerah.
Namun, dana tersebut justru diduga masuk ke kantong segelintir orang, melalui skema pungutan liar dengan dalih “tarif floating crane” sebesar USD 1,97 per ton — di mana USD 0,8 per ton diduga langsung masuk ke rekening PT PTB, tanpa dasar hukum yang sah.
Tertutupnya Dokumen Negara, Diamnya Pemerintah
Investigasi Konspirata.com juga menemukan bahwa:
- Tidak ada pelaporan kegiatan PT PTB ke Gubernur Kaltim sebagaimana diatur dalam Permenhub 59 Tahun 2021.
- Tidak ditemukan bukti sinkronisasi dengan tata ruang daerah.
- Pemprov Kaltim bahkan mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses penetapan konsesi.
Mengapa semua data ini tertutup rapat? Siapa yang menghalangi transparansi?
Muncul Desakan Aksi dan Intervensi KPK
Kini, kemarahan publik mulai membesar. Aktivis, mahasiswa, dan tokoh pemuda berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Kantor Gubernur dan DPRD Kaltim.
Mereka menuntut:
- Pemerintah Provinsi mengambil alih STS melalui Perusda.
- Audit forensik terhadap semua aktivitas dan keuangan PT PTB.
- Pemanggilan pejabat pusat dan lokal yang terlibat.
- KPK dan BPKP segera turun tangan dan mengusut aliran dana Rp5 triliun tersebut.
Ini Bukan Soal Izin, Tapi Soal Sistem
Jika benar semua prosedur dilompati, jika benar surat-surat dipakai tanpa dasar tata ruang, maka skandal ini bukan hanya kasus pidana — ini adalah cermin kebusukan sistem tata kelola pelabuhan nasional.
PT PTB hanyalah pintu masuk dari sesuatu yang lebih besar:
Sindikat perizinan, pembiaran oleh negara, dan persekongkolan elite.
Kita tidak bicara satu perusahaan, tapi potensi kerugian sistemik yang bisa terjadi di banyak wilayah pesisir Indonesia lainnya.
Leave a Reply